Ads Top

Nasi Sodu Rasa Cinta


Oleh : Moh. Imron
Di dekat rumah saya, Desa Trebungan, ada tiga pedagang nasi sodu. Jarak rumah saya ke masing-masing warung nasi tersebut kurang lebih 60-80 meter. Pertama; warung Bu Titi, terletak di utara rumah saya. Kedua; Bu Yani terletak di barat daya rumah saya. Dan yang ketiga; Bu Nai di barat rumah saya.
Ketika saya masih kecil, sekitar tahun 1996, ketiga warung ini sudah berdiri. Kata ayah, yang lebih dulu berdiri adalah warung Bu Yani.
Pada waktu itu, seporsi harganya Rp. 100. Kalau dibungkus biasanya menggunakan daun pisang. Berbeda dengan sekarang yang sudah menggunakan kertas lilin. Menurut Bu Titi, daun pisang sulit didapat, kebanyakan daunnya sobek terkena angin. Kalau pun ada, menggunakan daun pisang masih ribet karena harus membersihkan debu.
Harga nasi sodu ketiga warung ini separuh dari harga normal nasi di kota Situbondo. Ada juga yang hanya membeli kuahnya saja. Nasi sodu kadang juga dijadikan suguhan ketika hajatan misalnya tahlilan, arisan, gotong royong membangun rumah, masjid dan lain-lainnya.
Dari ketiga pedagang nasi sodu itu, manakah yang lebih enak?
Bagi saya, soal selera itu berbeda-beda. Lain koki lain rasa. Ketiga warung ini sudah mempunyai pelanggan sendiri-sendiri. Jadi menurut saya enak semua. Tapi yang lebih penting mengenyangkan. Uniknya warung ini tidak dipasang nama warung, tulisan menu makanan, minuman dan harga. Apa yang dijual oleh pemilik warung dan harganya sudah terpampang otomatis di pikiran masyarakat di desa saya. Masyarakat sekitar sudah hapal. Biasanya, pelanggan ramai ketika ra' tera' tana atau ketika masyarakat ingin beraktivitas di pagi hari.
Akan tetapi, ketika saya MTs kelas 2, sekitaran tahun 2003, saya malah lebih suka nasi sodu di warung Bu Awi. Letaknya sekitar 500 meter dari rumah saya. Rasa nasi sodunya seperti tiada tandingannya. Saya menyebutnya nasi sodu rasa cinta.
Setiap sarapan nasi sodu di warung Bu Awi, selalu ada perempuan melintas atau sok sibuk. Tak lain adalah ponaan Bu Awi. Gadis itu putih, cantik dan rambutnya sering dipotong pendek. Dan di lingkungan sekitar warung tersebut, tak ada yang tahu kalau ponaan Bu Awi itu adalah pacar saya. Cukup teman-teman ngaji dan sekolah saja yang tahu.
Kalau rindu, saya akan sarapan di sana. Ketika di warung Bu Awi, selalu teringat ketika mencium dia tanpa aba-aba dan sepengetahuan dia ketika pulang ngaji bersama, kemudian dia mukul-mukul saya tapi kayak yang sama-sama senang.
Selama di warung Bu Awi, saya tidak pernah berbicara dengan dia. Cukup dengan saling tatap atau bertukar senyum. Itu sudah cukup.
Kalau menurut pantun rakyat Situbondo;
Ngala' pao nambi' dhamar
Senyarondu' epetteghe
Poko' tao dhika ngala' samar
Tekka' nondu' dhika elereghe
Beberapa bulan kemudian, saya lebih suka beli nasi di ketiga warung yang dekat rumah saya. Sementara nasi di warung Bu Awi terasa hambar. Itu terjadi ketika saya putus dengan gadis itu. []

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.